Loading...
 
 
read-more

IDA RATU ANOM DALAM PROSESI NGELUNGANG KEGUNUNG-GUNUNG

Tepatnya 2 Oktober 2016, masyarakat Taro Kaja mengikuti prosesi ngiring tapakan Ida Ratu Anom lunga ke gunung-gunung ( daerah desa pakraman seputaran  pegunungan). Ngiring dalam hal ini memiliki makna secara filosofi adalah menempuh atau mengikuti jalan Bhetara/Salah satu manifestasi SinarNya Tuhan setelah Dewa/jalan kebenaran/jalan dharma. Tapakan memiliki arti pijakan atau wahana. Ida Ratu Anom adalah salah satu manifestasiNya yang diyakini masyarakat setempat/Taro Kaja/Amunduk Taro khususnya dan masyrakat Hindu/Bali umumnya sebagai Dewa Penyelamat, Dewa Hujan dan Dewa Cuaca. Wahana beliau adalah barong bangkal (perwujudan simbol babi hutan). Perlu diluruskan pemahaman umat saat ini, bahwa manifestasi beliau adalah berupa sinar suci dan secara dimensi niskala beliau berwujud “Sugra pakulun mangda tan kecakarabawan ida ngewejar puspatan Ida” Pemuda Sangat Tampan Tinggi berkulit putih bersih dan murah senyum serta berpakian putih bersinar menunggangi seekor babi hutan( Bagi yang waskita tembus bathin bisa melihat melalui mata bathin  jika sudah mampu dan jika sudah mendapatkan restu beliau). Memuja beliau semestinya dengan kedalaman jnana manifestasi sinarNya atau perwujudan beliau yang sesungguhNya, dan bukan wahana beliau (sebaiknya jikalau bisa). Babi hutan adalah simbol salah satu awatara wisnu yaitu waraha awatara. Sebagai simbol Dewa Wisnu penyatuan Bumi dan Pertiwi. Wit atau Awal dari terlahir atau terciptanya kehidupan. Konsepsi Purusha dan Predhana.
Prosesi ini dilakukan setiap 5 tahun sekali dan tidak hanya diikuti oleh masyarakat Taro Kaja saja, tetapi juga diikuti oleh banyak umat dari Amunduk Taro. Diawali dengan penuuran di Linggih Ida yakni Pura SangHyang Alang dan di lanjutkan dengan prosesi memarga/berjalan (napak pertiwi) dan diikuti oleh semua umat sebagai pengiringNya. Perjalanan diawali menuju Desa Pakraman Tebuana, Desa Pakraman Alas Pujung, Desa Pakraman Sengkaduan, Desa Pakraman Let, Desa Pakraman Belong dan terakhir kembali menuju Desa Pakraman Taro Kaja dan berstana melinggih di Pura SangHyang Alang sampai pukul 23.15 wita.
Prosesi “ngelungang” secara niskala memiliki fungsi menyebar vibrasi positif atau kedewataan ke lingkungan dan macrocosmos. Dan secara sekala mengikat hubungan keharmonisan sesama pawongan dan masyarakat setempat. Konsepsi penyatuan sekala lan niskala inilah menjadi hakekat hidup dalam kehidupan masyarakat hindu yang sesungguhnya. Semoga melalui setiap prosesi keagamaan semacam ini, akan mampu semakin menumbuhkan kedalaman tatwa beragama dan pencerahan hidup yang bermanfaat untuk alam dan semesta.